Jumat, 31 Mei 2013

5 Masalah yang terkait dengan Bulan Rajab

Berikut  adalah 5 masalah terkait dengan bulan Rajab :

1. Doa khusus di bulan Rajab
Ada sebagian orang membaca doa,

اللهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ، وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Ya Allah, berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban, lalu sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.” 


Hadits ini dhaif (lemah), diriwayatkan al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, Ahmad, al-Bazzar dalam Musnad keduanya, Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, Abu Nu’aim dalam Hilyah dari berbagai jalan dari Zaidah bin Abu Riqad berkata, “Telah menceritakan kepadaku Ziyad an Namiri, dari Anas secara marfu’.”
Imam al-Baihaqi berkata, “Hadits ini hanya diriwayatkan an-Namiri,
dan dari dia hanya oleh Zaidah.  Al-Bukhari mengatakan, ‘Zaidah, jika
meriwayatkan dari Ziyad an-Namiri haditsnya munkar.’ An-Namiri juga
orang yang lemah.”
Berhubung hadits ini lemah, maka tidak bisa dijadikan hujjah dan
tidak bisa diamalkan. Sebagai ganti doa yang shahih adalah doa yang
diucapkan Rasulullah ketika melihat hilal tanggal satu secara umum untuk
 setiap bulan hijriyah, beliau berdoa,

اللهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلامَةِ وَالْإِسْلامِ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللهُ

“Ya Allah tampakkanlah bulan tanggal satu itu kepada kami
dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam, Tuhanku
dan Tuhanmu (hai bulan sabit) adalah  Allah.” (HR.  Ahmad, no. 1397)


2. Perang dan Menyembelih Kurban
Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum larangan perang dan menyembelih kurban sudah dihapus. Ibnu Rajab  berkata dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif, hal. 210, “Tidak diketahui dari seorang sahabat pun bahwa mereka
berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor
pendorongnya saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang
dihapusnya hukum tersebut.” Begitu juga dengan menyembelih (berkurban).

3. Shalat khusus di bulan Rajab
Tidak ada shalat khusus pada bulan Rajab dan juga tidak ada anjuran shalat Raghaib pada bulan tersebut.
Shalat Raghaib atau shalat Rajab adalah shalat 12 rakaat yang
dilakukan antara shalat Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama bulan
 Rajab. Pada siang hari sebelumnya dianjurkan berpuasa sunnah. Di setiap
 rakaat dianjurkan membaca al Fatihah 1x, al-Qadar 3x, al-Ikhlash 12x.
Setelah shalat, dianjurkan membaca shalawat kepada Nabi sebanyak 70x.

Di antara keutamaan yang disebutkan adalah bahwa dosa orang yang
melakukannya diampuni walaupun sebanyak buih di lautan dan dapat memberi
 syafaat untuk 700 orang dari kalangan kerabatnya. Namun sayang, hadits
yang menerangkan tata cara shalat Raghaib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu).
Ibnul Jauziy berkata, “Sungguh, orang  telah membuat hal baru yang
tidak dicontohkan oleh Rasulullah dengan menunjukkan hadits palsu ini,
sehingga menjadi pendorong bagi orang-orang untuk shalat Raghaib dengan
berpuasa sebelumnya, padahal siang hari begitu panas, namun ketika
berbuka mereka tidak ingin makan banyak karena mereka harus shalat
Maghrib, lalu shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaan
tasbih dan sujudnya begitu lama. Sungguh orang-orang terasa susah saat
itu. Sungguh aku lihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka
shalat Tarawih tidak bersemangat seperti saat melaksanakan shalat
Raghaib.Tetapi, shalat ini di kalangan awam begitu penting sehingga
orang yang biasa tidak hadir shalat jamaah pun ikut melaksanakannya.” (al-Mawdhu’at li Ibnil Jauziy, 2/125-126)
Al-Imam an-Nawawi berkata, “Shalat yang dikenal orang sebagai Shalat
 Raghaib, yakni 12 rakaat antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at
pertama di bulan Rajab dan Shalat Malam Nishfu Sya’ban 100 raka’at maka
kedua shalat ini adalah bid’ah munkarah lagi buruk.” (Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 4 / 56)

4. Puasa khusus di bulan Rajab
Imam asy-Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibrahim al-‘Aththaar,
ia berkata dalam risalahnya: “Sesungguhnya riwayat tentang keutamaan
puasa Rajab, semuanya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya (dari
Nabi).” (Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah, hal. 381)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  berkata, “Adapun berpuasa khusus pada
bulan Rajab, maka hal itu berdasar pada hadits yang seluruhnya lemah (dha’if) bahkan palsu  (maudhu’). Para ulama tidak pernah menjadikan hadits-hadits itu sebagai sandaran.
Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah maudhu’ (palsu) dan dusta.Telah dicontohkan para sahabat bahwa mereka melarang
berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab karena dikhawatirkan akan sama dengan puasa Ramadhan. Hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin
al-Khaththab. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk
makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih, dan juga al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil)

Adapun perintah Nabi untuk berpuasa di
bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan
Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan
tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab
saja.” (Majmu’ al-Fatawa, 25/291)


Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany berkata di kitabnya, Tabyiinul ‘Ajab bi ma Warada fii Fadhli Rajab, “Tidak ada riwayat yang sah yang menerangkan keutamaan bulan Rajab dan
tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rajab, serta tidak ada pula
hadits yang shahih yang dapat dipegang sebagai hujjah tentang shalat
malam khusus di bulan Rajab.”

Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada
bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i  berkata, “Aku tidak
suka jika ada orang yang menyempurnakan puasa sebulan penuh sebagaimana
puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yang
tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan
lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan puasa sebulan penuh pada bulan
 Ramadhan. (Latha-if al-Ma’arif , 215)

Kesimpulannya, berpuasa di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga hal berikut ini,
1. Dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti
bulan yang lain sehingga orang-orang awam menganggapnya sama dengan
puasa Ramadhan.
2. Dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi sebagaimana sunnah rawatib.
3. Dianggap memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya.
Adapun berpuasa yang tidak terkait tiga hal tersebut semisal, puasa
sunnah Senin-Kamis, puasa Dawud, dll, maka tidak mengapa dilakukan.

5. Perayaan Isra’ Mi’raj
Saudaraku... sebelum kita menilai apakah merayakan Isra’
Mi’raj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau
terlebih dahulu mengenai kapan terjadinya. Para ulama berbeda pendapat
mengenai kapan terjadinya Isra’ Mi’raj. Ada yang mengatakan pada bulan
Rajab.  Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.
Abu Syammah seorang ulama asy- Syafi’iyah berkata, “Sebagian orang
menceritakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (ulama hadits) menyatakan klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (al-Bida’ al-Hawliyah, Abdullah bin Abdul Aziz bin Ahmad at-Tuwaijiri, 274)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada dalil yang tegas
yang menyatakan terjadinya Isra’ Mi’raj pada bulan tertentu, 10 hari
tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para
ulama berselisih pendapat tentangnya, tidak ada yang bisa menegaskan
waktu pastinya.” (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim al-Jauziyah,1/54)

Dalam Fathul Bari Kitab Manaqib Bab al-Mi’raj; al-Hafidzh
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Dan sungguh telah berselisih para ulama di dalam menentukan waktu Mi’raj. Ada yang mengatakan sebelum kenabian, pendapat ini ganjil kecuali kalau dianggap terjadi di dalam mimpi. Dan
kebanyakan ulama yang lain berpendapat setelah kenabian. Pendapat ini
pun terjadi perselisihan, ada yang mengatakan satu tahun sebelum hijrah. Demikian pendapat Ibnu Sa’ad dan yang lainnya, pendapat ini dikuatkan
oleh an-Nawawi; ...Sesungguhnya terdapat perselisihan yang banyak lebih
dari 10 pendapat…”
Jika penetapan hari dan bulan terjadinya Isra’ Mi’raj saja tidak
pasti dan diperselisihkan para ulama, maka bagaimanakah kita akan
merayakannya?

Karena jika seandainya Isra’ Mi’raj adalah perkara yang penting
untuk dirayakan, maka pasti akan ditegaskan oleh Nabi dalam
hadits-hadits beliau, sebagai bagian dari kesempurnaan Islam dan
semangat beliau dalam menunjukkan kebaikan kepada ummatnya. Juga pasti
akan dinukil dari para sahabat tentang penetapan hari terjadinya sebagai
 sikap amanah mereka dalam menyampaikan ilmu.

Cukuplah hal ini menjadi bukti nyata yang menunjukkan bahwa Nabi,
para sahabat dan para ulama setelah mereka, tidaklah menaruh perhatian
besar dalam masalah hari dan perayaan Isra’ Mi’raj. Sedangkan mereka
adalah contoh, panutan dan teladan terbaik bagi kita semua di dalam
perkara-perkara syariat. Allahu a’lam bish shawab.

Penyusun : MOH. ARIF RAHMAN SARIFUDIN, A.Md

Bookmark and Share
Artikel yang berhubungan :


0 komentar:

Iklan

LazadaID

MULTI TAB 1

VIDEO

MULTI TAB 2

HTML

MULTI TAB 3

MULTI TAB 4

MULTI TAB 5



MULTI TAB 6

Postingan Populer

MULTI TAB 7

Kategori


MULTI TAB 9

Buku Tamu

MULTI TAB 10

Daftar Blog Saya

MULTI TAB 11




 
KEMBALI KEATAS
') }else{document.write('') } }